Dibalik Hikmah

Saya tidak tau harus memulai cerita ini darimana. Yang jelas saya memiliki tetangga resek, yang selalu ingin tau urusan rumah tangga saya, suka mengejek dan menjelek-jelekkan saya, mengomel, bahkan dia pernah melabrak saya dengan menggedor-gedor pintu rumah kami dengan suara nyaringnya itu.


Untuk apa dia melakukan semua itu? Apakah hanya untuk menakut-nakuti saya? Apakah hanya untuk menggertak saya? Apakah hanya untuk membully saya yang seorang warga baru disini? Apakah karena sahabat dia menyukai suami saya? Lalu mereka berdua melakukan segala cara supaya saya tidak betah di rumah?
 
 
Ini bukan sinetron, tapi kisah ini seperti di sinetron-sinetron itu. Inilah yang membuat saya tidak suka menonton sinetron sejak dulu (fiuh). Sinetron hanya mengajari para penonton untuk melakukan hal yang “tidak wajar” menjadi “wajar”.
Tapi yang jelas Allah telah memberi peringatan pada dia (sebut saja S) untuk segera bertaubat. Tidak hanya bersikap “arrogant” pada saya seorang, “S” juga bertengkar dengan temannya sendiri, bertengkar dengan saudari iparnya, melabrak orang yang selama ini dekat dengan dia, semua hal itu membuat dia semakin dijauhi banyak orang.
***
Tekanan darah dia meningkat drastis ketika tanda-tanda melahirkan datang lebih awal dari perkiraan dokter. Selain hipertensi, “S” juga mengidap hepatitis B. Dokter segera melakukan operasi caesar untuk menyelamatkan sang bayi, namun setelah itu kondisi “S” menurun.
Seorang tetangga yang sudah menjenguk “S” bercerita panjang lebar pada saya. Kondisi “S” sangat memprihatinkan pasca operasi, banyak selang terpasang di tubuhnya (bahkan di mulutnya), “S” juga mendapat struk ringan. “S” hanya diam dan menatap tetangga saya dengan mata berkaca-kaca, mungkinkah “S” merasa bersalah dengan tetangga saya ini?
Saya terdiam mendengar penjelasan tetangga saya. Saya kira “S” di operasi caesar karena usianya menginjak 40 tahun, karena setau saya rawan untuk melakukan persalinan normal di usia 40 tahun. Saya kira “S” dirawat di rumah sakit karena operasi caesar, saya tidak menyangka bahwa “S” dirawat di ruang ICU. Tetangga saya mengajak saya untuk menjenguk “S” di rumah sakit. Saya menyetujui ajakan tetangga saya dan mencari waktu yang tepat untuk menjenguk “S”.
Mengapa saya menyetujui ajakan tetangga saya ini? Apakah saya tidak kesal dengan segala hal yang “S” lakukan pada saya selama ini? Tentu saja saya marah, tentu saja saya kesal, tapi mendengar kondisi “S” yang seperti itu membuat saya iba. Saya harap kunjungan saya nanti dapat mengurangi rasa sakit “S”, walau bagaimana pun itu, saya benar-benar berharap kondisi “S” membaik, dan yahh... saya harap dia dapat mengambil hikmah dari cobaan ini.
Saya pulang lebih awal hari itu, saya berencana untuk mengunjungi “S” sebelum magrib karena jam besuk di ICU sangatlah singkat. Saya mengajak tetangga saya, tapi sayangnya tetangga saya tidak bisa menemani saya. Kemudian saya mengajak tetangga saya yang lainnya (yang juga pernah bertengkar dengan “S”), namun sayangnya tetangga saya ini menolak ajakan saya dengan wajah kesal.
Akhirnya saya pergi seorang diri ke rumah sakit. Saya sempat nyasar, namun ajaibnya saya bertemu suami “S” di lorong rumah sakit. Suami “S” adalah orang yang baik, rajin ke masjid, dan tidak banyak bicara. Saya sampai di depan pintu ICU dengan jantung berdebar-debar, setelah membangunkan istrinya, suami “S” pamit ke musholla.
“S” langsung menyalami tangan saya, saya segera meminta maaf karena baru bisa mengunjungi dia hari itu. Tidak banyak kata terucap dari mulut saya, saya meminta “S” untuk beristirahat sambil sesekali menatap monitor yang berada di samping “S”. Saudara laki-laki “S” berkata bahwa tekanan darah “S” belum stabil. Adakalanya tekananan darah “S” tinggi, lalu turun drastis. Saya hanya menarik napas dalam-dalam, lalu sayup-sayup saya mendengar suara azan. Saya segera pamit pada “S” dan mengatakan pada “S” agar lekas sembuh.
Saya menuruni tangga rumah sakit, melewati lorong, dan sampai di pintu masuk. Di dekat pintu masuk itulah berdiri sebuah musholla, dan taukah anda siapa yang azan di musholla itu? Dia adalah suami “S”, suami yang selalu setia menemani “S”, suami yang sangat sabar pada “S”, sungguh beruntung “S” memiliki suami seperti itu. Saya harap “S” segera pulih dan dapat mengubah sikapnya menjadi lebih baik lagi.
Kemudian saya mendengar kabar baik. Dua hari setelah kunjungan saya, “S” dipindahkan ke ruang perawatan. Empat hari kemudian “S” dibawa pulang ke rumah. Seorang tetangga kembali menjenguk “S” di rumahnya, namun kondisi “S” belum pulih sepenuhnya. “S” pulang dengan struk ringan, dia tidak bisa menelan makanan karena separuh wajahnya tidak bisa digerakkan, saya mendapat kabar bahwa “S” masih makan melalui selang. Saya harap “S” segera pulih, saya tidak bisa menjenguk dia karena saya selalu sampai di rumah setelah magrib/isya, dan keesokan paginya harus pergi lagi, badan saya benar-benar lelah karena perjalanan ke rumah belajar (tempat saya mengajar bimbel) cukup jauh.
Satu bulan kemudian saya terkejut saat menjemur pakaian di depan rumah. Saya melihat “S”sedang menjemur pakaian, dia menyapa saya sambil tersenyum. What? “S” menyapa saya? Ini pertama kalinya dia menyapa saya, biasanya dia tidak pernah menyapa saya, dia bahkan sering memalingkan wajahnya ketika kami berpapasan di jalan. Saya sempat bengong, lalu membalas sapaan dia dengan wajah kaget. Siapa sangka dia dapat beraktifitas kembali setelah begitu berat cobaan yang dia hadapi? Tentulah semua ini atas izin Allah, atas dukungan serta doa-doa orang terdekat “S”.
Tapi.. suatu hari “S” ngomel lagi. Kali ini dia kembali mengomeli saluran air yang sudah kami perbaiki itu. Dia mengomel dengan sangat hebat, sama hebatnya seperti waktu dulu. Saya terkejut dengan sikap “S” hari itu. Mengapa dia mengomel lagi? Mengapa? Apakah dia tidak takut kalau omelannya itu dapat menaikkan tekanan darahnya? Dua hari dia mengomel, dia mulai mengejek lagi, dan kesabaran saya mulai habis. Tapi setelah itu saya tidak mendengar omelannya lagi. Dan hari ini saya mendengar kabar dari ibu “S” bahwa tekanan darah "S" naik lagi. Saya tidak tau harus berkata apa, saya hanya menawari si Ibu untuk memetik daun alpukat di depan rumah.
***
Ternyata... tidak semua orang dapat mengambil hikmah dari cobaan yang dia alami. Tidak semua orang mendapat hidayah untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Dia masih keras kepala seperti waktu itu.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Violist yang Satu Ini

Mengerjakan task di timebucks

Kerupuk